Suasana kantor pada hari Jumat jam setengah empat sore kali ini hampir tidak berbeda dengan biasanya. Dari ruang pribadiku terdengar hiruk pikuk teman-teman sekerja yang bersiap-siap pulang, canda ria yang terdengar lepas, dan tulat tulit ponsel mereka yang sudah mulai ditelepon dari rumah untuk rencana week end. Seperti biasanya juga, aku pulang agak terakhir. Bukan karena rajin, tapi karena aku malas mengemudikan Katana hijauku dalam antrian panjang berkelok-kelok yang memenuhi gedung parkir pada jam-jam segini. Aku tetap duduk di kursi kerjaku, mengerjakan beberapa hal untuk persiapan hari Senin nanti, agar hari Mingguku bisa terasa lebih bebas. Setelah aku rasa cukup, aku membuka-buka beberapa situs favoritku di internet, seperti FriendFinder, nba.com, dan lain-lainnya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Yak, masuk Nov!” kataku singkat. Pintu terbuka, dan masuklah Nova, seorang teman kerja yang waktu itu baru diangkat menjadi asistenku.
“Kok tahu kalau aku?” tanyanya keheranan sambil menutup pintu kembali.
“Yah.. siapa lagi kalau bukan kamu?” jawabku tanpa memberitahunya kalau aku sudah hafal pola ketukannya yang agak lebih keras dibandingkan teman-teman lain.
Wanita itu meletakkan tas kerjanya di sofa putih di seberang ruangan lalu mendatangi meja kerjaku sambil matanya sesekali melirik kesana-kemari untuk mencari benda-benda aneh baru yang memang sering kupajang di situ. Ketika matanya menemukan sebuah album foto di meja samping, ia lalu membelokkan arahnya ke situ dan mencomotnya. Dalam hati aku tertawa geli melihat tingkahnya yang agak kekanak-kanakan meski usianya hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Kini ia mengamati foto-foto itu dengan mimik serius, sementara aku mengamati dia.
Nova adalah seorang mantan atlet yang bentuk tubuhnya terpelihara dengan baik meski warna kulitnya agak kecoklatan karena dulu sering diterpa matahari. Wajahnya cukup manis menurutku, sementara pakaian-pakaian yang menempel di badannya selalu mengikuti apa yang kupakai, ia juga selalu mengikuti ke mana aku pergi, dan melakukan apa yang aku lakukan. Pendeknya, di mana ada Sari, di situ ada Nova, entah dalam bisnis atau just for fun, singkatnya, dia seorang sidekick sejati buatku. Ia adalah seorang petualang baru yang memilih menjadi petualang karena kebetulan ia sangat dekat denganku.
Agak merasa berdosa juga aku, jika mengingat saat pertama ia datang ke kantor memenuhi iklan lowongan koran. Waktu itu aku sendiri yang mewawancarainya, dan waktu itu ia tampak masih lugu dengan kacamata berbingkai hitam tebal dan rambut panjang sebahu serta pakaian yang.. well.. konvensional. Namun sekarang? Dari tempat dudukku aku bisa mengamati posturnya yang semampai (sekitar 170-an lah) dan berbahu bidang itu sedang berdiri di sisi ruangan dengan terbungkus setelan pakaian kerja Escada merah menyala yang elegan namun terkesan seksi. Kacamata berbingkai tebal juga sudah digantikan dengan contact lens coklat, sementara rambut ikalnya kini dipotong persis seperti rambutku, pendek seleher dan simpel. Untung saja rambutku lurus, hingga masih tetap ada bedanya.
“Ini foto waktu kapan, Mbak?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, pas SMA”, jawabku singkat
“Kenapa emang?”
“Mbak Sari yang mana?” tanyanya balik dengan tetap mengamati album foto itu dengan mimik serius.
“Yang mana, hayoo?” Godaku sambil mematikan Macintosh dan beranjak berdiri dari kursi kerjaku.
“Yang ini ya?” tanyanya sambil menghadapkan album foto itu padaku dan menunjuk sebuah foto.
“Iya, yang itu”, jawabku sambil membenahi tas kerjaku.
“Cantik ‘kan?” Kata-kata terakhir itu tadi mendapatkan jawaban berupa ekspresi mengejek dari wajahnya.
“Norak, ah!” katanya sambil menutup album itu dan melemparnya kembali ke meja.
“Kaki kepanjangan gitu masa pakai celana kependekan, apa nggak malah berkesan kerempeng?” lanjutnya lagi, yang kubalas dengan sebuah tinju agak keras di lengannya.
Kami lalu tertawa-tawa sambil menanti jam bergeser ke pukul setengah lima, supaya perjalanan mobilku lancar di gedung parkir. Nova menceritakan padaku tentang masa-masa hidupnya sebagai atlet, tentang latihan-latihan fisik yang dilakukannya, dan hal lain yang terkesan macho dan terlalu dibesar-besarkan. Sementara aku dengan tak kalah membual juga menceritakan tentang latihan yang kualami pada saat aku tergabung dalam sebuah klub basket.
“Eh, gimana rencana malam ini?” tanya Nova di tengah pembicaraan.
“Aku belum ada rencana lebih jauh”, jawabku.
“Kamu ada rencana apa?”
“Yahh..” desah Nova panjang sambil merentangkan kedua tangannya dan menggeliat malas.
“Aku sih pengen jalan-jalan.”
“Jalan-jalan apa jalan-jalan?” tanyaku dengan nada menggoda.
“Hmm..” Nova terdiam agak lama.
“Pengennya ya jalan-jalan biasa, tapi kalau nanti ada hasilnya, yah, nggak apa-apa kan?”
Pembicaraan terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada topik kesenangan wanita, yaitu membicarakan orang lain. Kami membicarakan seorang kawan yang kebetulan sering bekerja sama dengan perusahaan kami.
“Mbak Sari, kalau Mbak Ida itu orangnya gimana?” tanya Nova sambil mengamati pemandangan dari jendela lantai tujuh ini.
“Apanya yang gimana?” tanyaku balik sambil mengenakan blazerku kembali dan bersiap-siap pulang.
“Dia kan single”, jawab Nova.
“Apa dia juga.. hmm.. seperti Mbak Sari?”
“Hihihi”, aku tertawa kecil mendengar tuduhannya itu.
“Not really”, lanjutku sambil mematikan lampu dan mencolek lengan Nova agar mengikutiku keluar ruang kerja.
Karena gedung parkir sudah lumayan kosong, Katana hijauku dengan bebasnya meninggalkan gedung kantor itu. Nova menumpang di mobilku, agar nanti bisa keluar jalan-jalan bareng, katanya. Tapi however kami masih belum punya tujuan yang jelas, hingga kami berputar-putar saja di daerah itu. Sempat terpikir untuk mampir ke Kafe Jendela tempat beberapa kawan sering nongkrong, tapi karena masih terlalu sore dan sepi, akhirnya nggak jadi. Sempat juga ada ide untuk mampir ke Colors Pub, tapi sekali lagi karena masih terlalu sore, kami mengurungkan niat itu.
“Nov, kamu tadi kok nanya tentang Mbak Ida kenapa?” tanyaku karena tidak ada topik yang dibicarakan.
“Nggak apa-apa sih”, jawabnya sembari menggosok lensa sunglasses Gucci-nya dengan ujung baju.
“Just curious.”
“Dengar-dengar.. dia orangnya nggak normal, yah?” tanya Nova lagi.
“Maksudmu dia sinting?” tanyaku balik, menghindari membicarakan kejelekan orang dengan cara mengambil ekstrimnya.
“Nggak gitu sih”, jawab Nova tetap dengan mimik serius.
“Kata orang, dia nggak suka sama cowok.”
“Kalo emang iya, kenapa? Dan kalo enggak, apa kamu nggak malu gosipin orang?” jawabku diplomatis.
Nova tertawa kecil mendengar sindiran itu.
“Aku cuman pengen tahu”, jawabnya tak kalah diplomatis tapi masih amatiran.
“Kalo emang ternyata iya, apa kamu lantas mau nyoba kencan sama dia?” tanyaku to the point.
Wajah Nova tampak menunjukkan ekspresi aneh, perpaduan antara jijik dan mendapat inspirasi.
“Gini deh, daripada kita ngomongin orang, gimana kalau kita mampir ke rumah dia”, jawabku sambil menyalakan lampu sen untuk belok kiri, karena Katana hijau kini telah sampai di depan rumah orang yang kami bicarakan.
“Lho, lho, lho! Mbak! Jangan doong!” Rengek Nova ketika Katana hijau kuparkir di depan rumah besar dengan design aneh itu. Aku tidak mempedulikan rengekannya karena setengah jengkel. Aku hanya membuka pintu dan keluar dari mobil, meski sambil merengek dan menggerutu tidak jelas, Nova ikut turun juga.
Sampai ketika aku memencet bel pintu, Nova masih juga tampak tidak tenang. Ia berkacak pinggang sambil melihat ke langit yang kini berwarna ungu bercampur oranye. Rumah yang kami kunjungi itu terletak di tepi sungai kecil dengan lingkungan tertutup yang dipenuhi pohon-pohon besar (Dan para pembaca yang berasal dari kota S akan berpikir-pikir, kira-kira di mana letaknya, ya kan?) sehingga suasana jadi agak remang-remang dramatis. Seorang pembantu pria berwajah Maluku berbadan tegap keluar dari balik pintu dalam dan kembali masuk setelah aku menyebutkan nama orang yang kucari. Pintu kembali terbuka, tapi bukan si pembantu yang keluar, melainkan seorang, eh seekor anjing St. Bernard, sebesar meja makan.
“Aduh, Mbak.. ada anjingnya, pulang aja yuk!” seru Nova merasa mendapat alasan. Aku hanya memandangi wajah Nova dan wajah anjing itu bergantian, lalu menunjuk ke anjing yang kini menatap wajah Nova sambil menjulurkan lidah dan mengibas-ngibaskan ekor.
“Tuh lihat!” kataku.
“Dia menyukai kamu, jadi nggak ada masalah.”
“Hm.. masa sih?” tanya Nova sambil berlutut dan mengamati wajah anjing yang berekspresi lugu agak bodoh itu dari balik pagar. Si pembantu muncul dan membukakan gerbang pagar yang terbuat dari kayu berat berlubang-lubang di sana-sini itu. Kami melangkah masuk. Aku melangkah dengan tenang, sementara Nova melangkah agak gelisah sambil sesekali melihat ke arah anjing besar yang kini berjalan mengikutinya. Besar sekali memang, tingginya saja hampir sepinggang kami. Si pembantu lalu mempersilakan kami duduk di kursi beranda, tentu saja dengan ditemani St. Bernard besar itu, yang kini duduk bersimpuh di lantai memandangi Nova dengan ekspresi yang seperti tadi, lugu setengah bodoh.
Nuansa rumah itu memang agak mendirikan bulu tengkuk bagi orang yang belum pernah mengunjunginya. Pagarnya terbuat dari kayu berwarna gelap yang terkesan berat dan tertutup. Pekarangannya yang tidak terlalu luas ditutup dengan paving block yang dicat cokelat gelap, senada dengan tembok rumah yang juga berwarna maroon gelap. Bangunannya sendiri mungkin cukup bagus, bangunan tua dengan arsitektur kolonial, namun sentuhan seni kontemporer di sana-sini membuatnya tampak aneh. Bayangkan saja, lampu temaram yang menempel di dindingnya berbentuk kepala wanita yang melotot, asbak di meja beranda pun berbentuk kepala seorang bayi (atau tuyul?) yang mulutnya menganga lebar. Perpaduan yang agak aneh karena meja dan kursi berandanya berwarna hijau tua dan berbentuk ukiran Jepara klasik. Di sudut beranda juga terdapat beberapa patung kayu ukiran Bali yang menggambarkan dua orang wanita tanpa busana sedang saling mencekik.
“Angker ya, rumahnya?” celetuk Nova yang rupanya juga mengamati situasi.
“Yah, tapi dia satu-satunya designer yang setuju dengan harga yang kamu tawarin!” jawabku mengingatkan Nova.
“Hm, iya ya. Mbak Ida partner kantor kita”, gumam Nova.
“Apa nggak sebaiknya nanti kita ngomongin kerjaan aja?”
“Alaa, udahlah, sekarang Jumat malam”, jawabku jengkel.
“Lagian kan kamu pengen kenal lebih jauh sama dia?”
“Siapa yang pengen kenalan sama aku?” tanya suara berat seorang wanita yang terdengar tiba-tiba dari samping beranda.
Nova dan aku sempat agak terjingkat karena kaget oleh suara Mbak Ida yang memang berat itu. Wanita berusia 30-an itu telah berdiri di samping beranda dan mengelus-elus kepala anjingnya. Meski usianya agak lebih tua dariku, Mbak Ida memiliki postur tubuh yang terjaga. Tidak seperti Nova dan aku yang meski ramping tapi terkesan lebar dan bidang, postur tubuh Mbak Ida cenderung tidak nampak lebar. Tingginya kurang lebih 160-an, dengan proporsi yang lebih panjang di kaki. Kulitnya agak gelap dan bentuk tubuhnya padat tapi khas wanita dengan dada yang agak membusung. Sore itu ia mengenakan sejenis kimono berwarna coklat gelap yang belahannya agak rendah hingga kami dapat dengan jelas melihat belahan dadanya. Rambutnya yang lurus dan panjang sebahu dicat merah. Merah beneran, merah bendera, bukan merah brunette. Wajahnya cantik namun matanya terkesan misterius di bawah alis yang hampir tidak ada rambutnya.
“Ini, si Nova yang pengen kenalan sama Mbak Ida.”
“Lho, kan udah kenal?” jawab Mbak Ida sambil menjabat tangan Nova yang malu-malu dan agak gemetar.
“Ayo masuk!” seru Mbak Ida mempersilakan kami masuk.
“Bas, kamu jaga di luar ya!” serunya, kali ini ditunjukkan ke si anjing.
“Mbak, nama anjing kamu siapa sih?” tanyaku ingin tahu.
“Lubas Herera”, jawab Ida singkat sambil membukakan pintu ke ruang tamu.
Aku hanya memandangi anjing dan pemiliknya bergantian, setengah heran karena jarang ada anjing yang punya nama belakang.
Suasana ruang tamu yang amat luas itu berbeda 180 derajat dengan beranda dan pekarangan yang gelap dan misterius. Dinding ruang tamu berwarna putih cerah, lantainya juga terbuat dari keramik putih. Sementara perabotannya bergaya modern, terbuat dari pipa-pipa besi berlapis chrome mengkilat dengan bantalan-bantalan kursi biru cerah. Satu-satunya hiasan dinding adalah jam yang tepinya terbuat dari ban penyelamat kapal berwarna merah terang bergaris putih, dan jarum jamnya juga berwarna merah terang, kontras dengan nuansa ruangan yang biru-putih. Tidak ada coffee table (meja tamu), yang ada hanya sebuah meja makan di tengah ruangan yang kakinya terbuat dari pipa-pipa mengkilat dan mejanya sendiri dari kaca dengan bentuk yang tidak simetris, seperti sirip ikan hiu. Di sudut ruangan terdapat tiga buah komputer Macintosh yang casing dan monitornya berwarna biru transparan, semuanya masih menyala dan screen savernya berbeda-beda, di monitor paling kiri ada huruf I yang berputar-putar, di monitor tengah huruf D, dan di monitor paling kanan huruf A, ketiganya membentuk huruf nama pemiliknya, benar-benar nyentrik, pikirku.
Sementara dinding belakang dari ruang tamu ini bukan tembok, melainkan kaca yang menghadap ke sebuah kolam renang kecil berbentuk pisang. Yang paling aneh adalah dinding dan dasar kolam renang itu tidak polos seperti umumnya kolam renang, melainkan dipenuhi sebuah anime yang dibelit gurita. (Setelah diamati lebih jauh, ternyata bukan gurita, melainkan kejantanan pria yang jumlahnya banyak dan panjang-panjang seperti ular melilit badan wanita-wanita tanpa busana itu).
“Yah, ginilah rumahku”, kata Mbak Ida memecah keheningan.
“Gimana?”
“Hm.. bagus, bagus sekali”, jawab Nova mengangguk-angguk tanpa mampu menyembunyikan ekspresi gugup setengah takut.
“Berbeda sekali dengan waktu aku ke sini pertama dulu”, jawabku sambil mengamati jam dinding aneh yang kuceritakan tadi.
“Iya dong Sar”, jawab Mbak Ida.
“Kami kan tipe pembosan, kaya kamu!” lanjutnya penuh arti.
Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk sirip hiu itu, menghadap ke beberapa gelas sirup yang dihidangkan si pembantu yang tadi membukakan pintu. Nova tak henti-hentinya memandangi rambut Mbak Ida yang dicat merah menyala itu, sementara aku sendiri berusaha untuk tidak menunjukkan ekpresi heran, takut dia tersinggung.
“Nah, ada apa ini kok kemari? Ada order lagi yah?” tanya Mbak Ida mengawali pembicaraan setengah bercanda.
“Ah, enggak, hanya nggak ada acara aja sore ini”, jawabku sambil menyeruput minuman di gelas berbentuk kepala Miki Tikus. Agak kaget juga aku ketika minuman di gelas itu menyembulkan sedikit aroma alkohol, aku hanya meneguk sedikit saja karena aku memang tidak suka minuman yang memabukkan. Aku melirik ke Mbak Ida sambil mengangkat alis kiriku.
“Apa nih minumannya?” tanyaku dengan mata menuduh namun masih terkesan ramah.
“Oh, iya!” jawab Mbak Ida dengan ekpresi datar.
“Aku lupa kamu nggak minum.”
Mbak Ida lalu berjalan ke dispenser di sudut ruangan dan menuangkan segelas air putih untukku. Ketika ia berjalan meninggalkan meja makan, aku melirik ke arah Nova.
“Nov, kalau nggak suka nggak usah diminum, lho”, bisikku mencegahnya.
“Hmm?” tanya Nova sambil melihat ke arahku dan meletakkan gelasnya yang telah kosong ke meja. Ah, ya sudahlah. Aku mengurungkan niatku mencegah Nova meminum minuman aneh itu.
Kami lalu ngobrol kesana kemari diselingi joke-joke khas wanita lajang. Suasana menjadi hangat dan akrab. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun Nova yang tadi takut-takut, kini malah tampak betah. Memang Mbak Ida, terlepas dari bagaimana bentuknya, adalah orang yang ramah dan menyenangkan. Sekedar info, ia adalah seorang designer yang kerap kali bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja. Dan ia sering kami pakai karena kelebihannya itu, ia memiliki people skill yang tinggi. Tidak seperti umumnya orang seprofesi dia, yang sulit untuk memahami orang lain dan cenderung menganggap orang lain awam. Meski gayanya mendandani rumah cenderung aneh, dia sama sekali bukan tipe orang yang nyentrik atau weird dalam hubungan kerja. Ia amat profesional.
Pembicaraan berlanjut sampai kemudian Mbak Ida mengantar Nova berkeliling rumahnya. Aku yang dulu sudah pernah ke situ tidak ikut berkeliling, aku mengambil sebuah buku dari rak di sudut ruangan dan mulai membacanya. Sebuah buku paperback bagus, yang berjudul Rich Dad Poor Dad, oleh Robert Kiyozaki. Cukup lama aku membaca buku itu sampai kemudian Nova datang kembali ke ruang tamu menjumpaiku.
“Mbak Sari, pulangnya nggak buru-buru kan?” tanyanya dengan mata kekanak-kanakan.
“Oh? Nggak kok”, jawabku sambil melirik arloji.
“Emang mau ngapain kamu?”
“Mbak Ida ngajak aku nyobain kolam renangnya, kata dia airnya hangat”, jawab Nova lagi.
“Yah, terserahlah. Tapi apa kamu bawa baju renang?” tanyaku.
“Dia mau minjemin kita baju renang kok”, jawab Nova sambil menunjukkan sebuah kantong plastik yang berisi pakaian renang.
“Ganti bajunya di kamar mandi situ, Nov!” kata Mbak Ida yang tiba-tiba muncul.
Kali ini Mbak Ida muncul dengan kimononya sudah tidak lagi diikat, dibiarkannya terbuka begitu saja, dari balik kimono tampak bikini renang berwarna merah seperti rambutnya. Hmm.. kontras dan indah juga perpaduan warna itu, kulitnya yang kuning agak gelap dan bikini serta rambut merah. Dalam hati aku sempat iri dengan bentuk badan Mbak Ida yang padat dan berbentuk, sementara badanku sendiri cenderung ceking dan datar panjang-panjang.
“Kamu ikutan sekalian deh, Sar!” Ajak Mbak Ida lagi.
“I Promise I won’t do anything”, lanjutnya penuh arti.
Aku hanya mengangkat bahu dan tidak punya pilihan lain. Apalagi Nova menarik lenganku masuk ke kamar mandi.
Kamar mandi rumah ini jadi terkesan aneh karena tidak ada yang aneh di dalamnya. Kamar mandi klasik berukuran besar dengan bak mandi di sudut, cermin besar di dekatnya, sebuah kloset di sampingnya, dan sebuah pintu menuju ke ruang lain. Begitu biasa jika dibandingkan dengan suasana dalam rumah. Di situ Nova tanpa malu-malu mempreteli semua yang melekat di badannya dan mengenakan bikini yang dipinjamkan Mbak Ida.
“Kamu kok milih yang bikini sih?” tanyaku sambil memilih-milih pakaian renang dalam kantong plastik.
“Emang kenapa, Mbak?” Jawab Nova sambil melenggak-lenggok di depan cermin menatap keindahan bentuknya yang memang indah.
“Kan nggak ada cowok”, lanjutnya lagi.
Aku memilih pakaian renang biasa saja, Speedo berwarna biru muda. Hmm, terasa agak longgar di bagian dada dan pinggang, menunjukkan dimana perbedaan antara bentuk badanku dan badan Mbak Ida. Sempat menatap cermin, dan.. yah.. aku memang sama sekali tidak jelek! Pikirku sambil menatap garis tubuhku yang menurutku paling indah di seluruh dunia.
Tiba di pinggiran kolam renang Mbak Ida, rasa-rasanya aku malas untuk masuk ke air. Entah kenapa, tapi rasa-rasanya gambar kartun di dasar dan dinding kolam itu mengganggu pikiranku. Sementara Nova hanya mengomentari bahwa gambar kartun itu lucu. Yah, memang dia jarang memperhatikan sampai ke detail, hingga dia lantas nyemplung begitu saja bersama dengan Mbak Ida yang sudah lebih dulu masuk ke air. Dari tepi kolam aku mengamati bahwa di dinding-dinding kolam renang terdapat lampu-lampu besar, hingga dalam air dapat terlihat dengan jelas. Aku melihat tubuh lencir Nova berenang-renang dengan latar belakang gambar-gambar wanita kartun yang ketakutan karena dililit oleh ular-ular besar.
Hmm, pemandangan yang menarik sebenarnya, namun aku memilih untuk duduk saja di tepi kolam, membiarkan angin malam menyejukkan kulit tubuhku yang hanya tertutup pakaian renang. Karena merasa kelewat dingin, akhirnya aku membungkus badanku dengan kimono Mbak Ida yang ditinggalkannya di tepi kolam, dan berjalan mengelilingi halaman belakangnya yang lumayan besar dan bersih, mencari si pembantu tadi sekedar untuk teman ngobrol, tapi pemuda itu juga tidak ada. Dalam hati, aku merasa sedikit bersalah karena mengerti siapa Mbak Ida sebenarnya. Wanita itu tak lain adalah petualang juga, sama seperti aku sendiri. Namun yang berbeda adalah bahwa buruannya seringkali berasal dari teman sejenis, dan bukan lawan jenis. Itu sebabnya pikiranku sekarang terasa seperti membawa Nova ke mulut singa. Tapi, ah, masa bodoh! Aku kan bukan baby sitter untuk Nova. Meski keberadaannya seringkali membuatku merasa memiliki seorang adik, tapi jalan hidupnya kan bukan urusanku, itu pilihannya sendiri.
Dari tempatku berdiri di sudut halaman belakang, kolam renang Mbak Ida tidak terlihat karena tertutup pagar tanaman setinggi satu meteran. Tapi setelah lama, aku baru menyadari kalau aku tidak mendengar suara deburan air seperti yang kudengar tadi. Aku mulai merasa tidak enak, dan segera melangkahkan kaki ke arah kolam renang. Seperti dugaanku, Nova dan Mbak Ida sudah tidak berada di kolam renang, juga di sekitarnya, mereka mungkin sudah masuk ke dalam rumah. Aku berusaha melihat melalui dinding kaca, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu atau ruang tengah.
“Di mana kedua orang itu”, pikirku. Kucoba membuka pintu kaca geser untuk masuk ke ruang tengah, ternyata terkunci. Berarti aku terpaksa harus memutar melalui pintu depan. Agak risih juga hanya mengenakan pakaian renang terbalut kimono tipis dan berjalan di antara pohon-pohon pisang di kegelapan. Akhirnya aku sampai ke garasi tempat 318i Mbak Ida teronggok congkak. Lalu membelok ke kiri, dan aku tiba di beranda yang menakutkan tadi. Tampak si Lubas Herera kini memandangi aku sambil mengibas-ngibaskan ekor. “Anjing tolol ini tentu tidak bisa ditanyai keberadaan tuannya”, pikirku. Lalu aku membuka pintu depan yang untungnya tidak terkunci, dan kembali berada di ruang tamu. Seperti yang kuduga, ruang tamu itu kosong.
Aku berjalan mondar-mandir di situ sambil memikirkan kira-kira ke mana kedua temanku tadi. Akhirnya aku mencoba alternatif terburuk, yaitu kamar tidur Mbak Ida. Konyolnya, aku tidak menjumpai pintu lain selain ke kamar mandi dan ke kolam renang tadi. Rumah ini memang terasa begitu besar karena tidak ada sekat-sekat ruangannya. Berarti dimana letak kamar tidurnya? Setelah berpikir beberapa menit, naluri petualangku mengatakan bahwa kamar tidur seorang pemburu umumnya tergabung dengan kamar mandi atau setidaknya memiliki akses langsung ke kamar mandi. Aku jadi teringat akan pintu di kamar mandi tadi. Segeralah aku melangkah ke kamar mandi, oops! kimono panjang ini mengganggu langkahku, jadi aku melepaskan dan menaruhnya di meja makan.
Setibanya aku di kamar mandi, terlihat pintu yang kumaksud terbuka sedikit. Lampu kamar mandi yang terang membuat aku tidak dapat melihat apa-apa dari celah pintu itu, tampak temaram di sana. Pelan-pelan aku melangkahkan kaki ke sana. Setelah makin dekat, terasa dinginnya hembusan hawa AC dari celah pintu yang terbuka sedikit itu, terdengar pula alunan lembut musik sound track Titanic dari Kenny G. Hmm, apakah mereka berdua ada di situ? Kalaupun iya, apa yang mereka lakukan? Bukankah Nova seorang straight? Apakah Mbak Ida mencoba menjahili Nova? Atau apakah Nova ingin mencoba petualangan baru? Berbagai pikiran jorok berkembang dalam benakku, membuat aku tidak segera memasuki ruangan di balik pintu itu. Hm.. apakah aku harus langsung masuk? Atau mungkin menunggu di ruang tamu sambil pura-pura tertidur? Atau harus mengintip dulu? Uhh.. bingung juga. Anyway, aku harus melakukan sesuatu, bukan?
Setelah memantapkan diri, aku memegang handel pintu dan dan mendorongnya hingga terbuka. Nah, tampaklah kamar tidur Mbak Ida yang ternyata tidak terlalu besar, namun dindingnya berlapis kayu jati berwarna gelap. Lampu yang kuning temaram membuat suasana terasa gelap. Dinding kayu itu polos tidak tertempeli hiasan apa-apa, karpet tebal di lantai juga polos berwarna coklat tua, tepat di tengah-tengah ruangan teronggok tempat tidur kayu besar. Nah, di atas ranjang besar itulah Nova tertelungkup dengan bikininya, sementara si pembantu pria yang tadi kucari-cari kini sedang duduk di atas pantat Nova dan memijiti punggung wanita itu.
Keduanya tampak agak terkejut melihat kehadiranku. “Wah, Sari! Kamu juga mau ikutan ya?” Terdengar suara Mbak Ida mengejutkanku. Wanita itu duduk di sebuah sofa di pinggir kamar. Rambutnya masih tampak basah dari kolam renang tadi, bikini merahnya yang tipis dan agak basah tidak berfungsi menyembunyikan apa-apa lagi.
“Pijitan si Beni enak nggak, Nov?” cerocos Mbak Ida.
“Mmm.. mm.. lumayan lah, Mbak!” jawab Nova yang masih tertelungkup di ranjang, dipijit oleh si Beni yang bertelanjang dada.
“Oh, well..” Aku seperti kehabisan kata-kata karena dihadapkan pada suasana yang agak tidak wajar. Aku lantas duduk di sofa di samping Mbak Ida, mengamati wajah Nova yang kini tampak terpejam-pejam karena otot kakinya sedang dipijat oleh si Beni. Dari cara memijatnya, sepertinya Beni memang orang yang ahli dalam hal tersebut, bukan hanya seorang yang asal pencet. Setelah sesaat mencoba beradaptasi, aku menengok ke Mbak Ida.
“Mbak Ida nggak dipijit juga?” Tanyaku.
“Aku sih udah selesai”, jawabnya singkat.
“Kamu mau nyoba? Enak lho, Sar.”
“Iya coba aja Mbak Sari!” sahut Nova yang rupanya sudah selesai dipijit, ia kini menghampiri sofa tempat kami duduk.
“Enak kok, jadi terasa lebih lentur seperti jelly!” candanya menambahkan. “Eh, Ben! Jangan kembali dulu, nih Ibu Sari juga pengen dipijit!” seru Mbak Ida pada pemuda Maluku itu.
Aku beranjak menuju tempat tidur besar itu. Beni tampak tersenyum manis dan mengangguk hormat padaku. “Hmm.. Not bad”, pikirku. Meski amat pendek dan hanya setinggi dadaku, pemuda ini otot-ototnya lumayan jadi juga. Beni yang kulit tubuhnya hitam legam itu hanya mengenakan celana jeans pendek yang menunjukkan adanya tonjolan khas pria, baguslah, pikirku. Ia normal, pria mana yang tidak bereaksi seperti itu kalau diijinkan menyentuh badan si Nova yang memang atletis dan kesat. Nah, kita tunggu bagaimana reaksi dia setelah memijiti badan si pemburu ini. Hmm, pemuda yang beruntung, pikirku nakal.
“Apa perlu saya buka pakaian?” tanyaku pada Beni dengan nada serius namun bertujuan menggoda.
Pemuda itu diam dan tampak bingung lalu melirik ke arah majikannya.
“Hahaha!” Mbak Ida tertawa gelak.
“Nggak apa-apa Ben! Ibu Sari itu badannya oke punya lhoo!” Beni tampak ragu-ragu dan menelan liur, reaksi yang aku sukai untuk digoda! Aku malah tanpa ragu-ragu menurunkan lengan pakaian renang ini ke kiri kanan dan menariknya ke bawah, hingga kini pemuda beruntung itu dapat melihat segalanya di bawah sinar lampu yang kuning temaram. Mulut Beni menganga menyaksikan semuanya. Di hadapannya berdiri si pemburu, tanpa selembar benang pun, dengan postur yang satu setengah kali lebih tinggi darinya, berwarna kuning bersih dan halus semampai. Aku menarik nafas dalam agar kedua dadaku membusung ke depan, lalu menghembuskan nafas lagi hingga kedua bukit yang tidak besar itu kembali ke posisi semula, dan bola mata Beni mengikuti gerakan kedua benda indah itu. Aku tersenyum sambil menyipitkan mata menggodanya, dan memanjat naik ke ranjang dan membaringkan badanku tertelungkup di kasur pegas empuk itu.
“Hey, ayo, jangan bengong, Ben!” Seru Mbak Ida sambil tertawa-tawa.
“Tunjukkan pijitan terbaikmu!”
“Lho, emangnya yang diberikan ke aku tadi bukan pijitan dia yang terbaik?” tanya Nova yang kini duduk di samping Mbak Ida.
“Lah, kalau buat Sari ya lain dong Nov!” cerocos Mbak Ida lagi.
“Untuk Sari kan harus yang.. hmm.. menyentuh!”
Nova dan Mbak Ida lalu tertawa tawa sementara kini kurasakan tangan-tangan Beni mengoleskan baby oil ke betisku dan mulai memijit. “Waa!” Aku menjerit keras ketika kurasakan pijitan jari-jari Beni begitu keras dan menyakitkan. Kontan saja Beni menghentikan pijitannya dan memasang ekspresi penuh rasa bersalah.
“Pelan-pelan aja, Mas Beni!” kataku mencoba menghiburnya, “Mulai dari punggung aja nggak apa-apa kok.”
Lantas Beni mulai mengolesi punggungku dengan baby oil, dan mulai memijit pelan-pelan. Hmm.. harus kuakui rasanya memang mantap dan membuat rileks. Biasanya, pria yang tahu memijit wanita adalah pria yang hebat di ranjang, tapi aku segera membuang pikiran konyol itu dan memejamkan mata menikmati pijitan-pijitannya yang melemaskan otot. Hmm, menyenangkan sekali dipijit oleh pemijit ahli, di ruangan ber-AC yang temaram, diiringi musik instrumental Kenny G.
Saat asyik-asyiknya memejamkan mata menikmati suasana, aku sayup-sayup mendengar erangan wanita di tengah alunan lembut saxophone itu. Apakah memang di kaset Kenny G terdapat sound effect seperti itu? Ah, aku rasa tidak. Aku membuka mata sedikit, dan menatap lurus ke arah sofa di pinggir kamar. Dan aku segera mendapat jawaban dari mana rintihan itu berasal. Di atas sofa itu, Mbak Ida juga tampak sedang memijit badan Nova dari belakang. Tepatnya, Mbak Ida sedang mengusap-usap pinggang Nova yang terbuka, sambil menciumi leher kawanku itu. Novanya tidak menunjukkan perlawanan sedikitpun, malah tangan kirinya memeluk kepala Mbak Ida yang kini mencium dan menjilati leher kirinya.
Pelan-pelan jemari lentik Mbak Ida merambati pinggang Nova ke atas, lalu menyusup ke balik bikini basah yang dikenakan Nova. Membuat payudara Nova seperti tersentak-sentak karena nafasnya menjadi sulit diatur. Wajah Nova yang terpejam itu kini tampak begitu terangsang oleh gerakan-gerakan Mbak Ida. Dengan gerakan cepat, Mbak Ida melepaskan bikini bagian atas itu, hingga kini kedua payudara Nova yang memang menurutku amat indah, padat, putih bersih dengan puting kecoklatan itu terpampang jelas.
“Hey, kamu kok membuka mata, Sar?” kata Mbak Ida yang kini menatap tajam ke arahku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kulihat wajah Nova, wajah itu kini tampak sayu dan matanya menatap ke arahku dengan tatapan dingin dan datar, seolah tidak ingin aku mengganggunya. Ya ampun, pikirku. Apa yang aku kuatirkan telah terjadi. Pijitan-pijitan Beni kini tidak lagi terasa. Aku mengangkat kepalaku dari ranjang dan bermaksud meminta Mbak Ida berhenti mempermainkan badan Nova. Namun Nova malah mengelus paha Mbak Ida yang kini menghimpit pinggangnya di kiri-kanan.
“Tenang aja lah Sar, Nggak apa-apa kan, sekali-sekali!” seru Mbak Ida.
“Ben, kamu ikuti apa yang aku kerjakan ya?”
Mengakhiri kalimatnya itu, Mbak Ida lalu meremas-remas payudara Nova dengan mantap namun lembut sambil menjilati rahang dan lehernya. Nova tampak memiringkan kepalanya, terpejam-pejam sambil mendesah-desah menggumamkan nama Mbak Ida. Tiba-tiba aku merasakan apa yang kini dirasakan oleh Nova. Tangan-tangan Beni menyusup di antara payudaraku dan kasur ini, lalu meremas-remas dan memilin-milin puting susuku. Aku terhenyak dan memejamkan mata karena serbuan yang tiba-tiba itu, segera aku mengosongkan pikiran dan membuang semua logika, membiarkan diri larut dalam petualangan baru.
Pelan-pelan aku merasa tubuhku diangkat dan didudukkan di ranjang, sementara Beni duduk di belakangku dan mengusap serta meremas-remas kedua payudaraku lembut. Sejenak kemudian puting-puting susuku terasa menegang terangsang, sementara payudara ini terasa kaku dan memadat. Aku membuka mata dan melihat bagaimana Mbak Ida menghimpit pinggang Nova dari belakang dengan kedua kakinya, ibu jari kaki kanan Mbak Ida kini menyusup ke balik celana bikini Nova dan bergerak-gerak disitu, sementara tangannya terus menjentik-jentik puting susu Nova. Mbak Ida sendiri tampak amat terangsang, dagunya terkait di pundak kiri Nova sambil wajahnya terpejam-pejam, mungkin karena gesekan dadanya dengan punggung Nova. Sementara Nova tak kalah terangsang, kedua alisnya menyatu di tengah kening dan giginya terkatup meski bibirnya setengah terbuka, dan mendesah-desah norak.
“Aduuhh.. aduuhh.. enaknya Mbak Idaa.. aduuhhsshh.” Birahi dalam tubuhku tergugah ketika melihat Nova diperlakukan seperti itu, terbayang rasanya jika badanku diperlakukan demikian. Tampaknya Beni menyadari hal itu, namun tidak menirukan gerakan Mbak Ida. Ia menyusupkan kepalanya di bawah ketiak kiriku dan mengulum-ngulum puting susuku dari situ, Uhh.. rasanya geli dan merangsang bukan main. Sementara jari-jari tangan kanannya menguakkan bibir kewanitaanku hingga terbuka dan jari tangan kirinya memijit-mijit di dalam situ, “Aduuhh..” nafasku sampai tersengal-sengal dan rasanya sulit menjaga kedua mataku agar tidak menyipit-nyipit. Aku hanya menggeretakkan gigiku rapat-rapat menahan rangsangan ini. Ingin memejamkan mata, namun aku tidak ingin melewatkan pemandangan di hadapanku, dimana Nova sedang dikerjai habis-habisan oleh tangan-tangan Mbak Ida yang begitu berpengalaman. Ohh, sungguh pemandangan yang membuat kewanitaanku berdesir melembab.
Tamat
Comment